test

Monday, March 18, 2019

BELAJAR BERMAIN SEPAK BOLA SECARA SPORTIF

APAKAH DEVINISI SPORTIF


Perilaku Sportif dan Fairplay 2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya

 Fair Play 

Fair play berarti semua peserta memiliki kesempatan yang adil untuk mengejar kemenangan dalam olahraga kompetitif, memiliki kemampuan meraih kemenangan melalui sikap yang elegan dan sportif (Armando, 2010). Fair play mensyaratkan bahwa semua kontestan memahami dan mematuhi tidak hanya kepada aturan formal dari permainan tetapi juga aturan main yang tidak tertulis (Shields&Bredemeier, 1995) dalam Robert S. Weinberg., Daniel Gould (2007). Sedangkan menurut Amansyah, (2010) fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria pada olahraga. Nilai fair play melandasi pembentukan sikap, dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fair play adalah pemberian kesempatan yang sama untuk menang kepada kedua tim yang bertanding. Seluruhnya harus menjunjung tinggi peraturan yang berlaku dan tetap menjaga persahabatan di tengah-tengah besarnya semangat persaingan, oleh karena itu dalam pandangan masyarakat hal tersebut akan memiliki nilai yang tinggi. Sebagai contoh dalam olahraga sepakbola, setiap pemain pasti ingin menunjukkan kemampuan individualnya saat memainkan bola. Guna menguasai bola, kerapkali harus terjadi benturan fisik saat saling berebut bola di lapangan. Oleh karena itu, bagian terpenting dalam pembinaan pemain muda sepakbola adalah menciptakan karakter yang baik, dimana seorang pemain sepakbola bisa mengendalikan diri dalam keadaan apapun, dan senantiasa bersikap disiplin. Inilah yang menjadi dasar dari perilaku olahragawan atau fair play. FIFA sebagai organisasi sepakbola dunia, sejak Piala Dunia 1990 sangat gencar mempropagandakan fairplay, dan secara resmi logo fairplay yang dikenal dengan slogan “My Game is Fair Play” diumumkan pada tahun 1993. Sejak saat itu, tradisi pemberian penghargaan kepada insan sepakbola yang dinilai mampu memberikan teladan yang baik bagi masyarakat sepakbola dunia kian gencar diberikan. FIFA kemudian menciptakan “Golden Rule” yang diharapkan bisa menjadi pedoman bagi seluruh insane sepakbola dunia. Armando Pribadi (2010), secara sederhana dan ringkas mengartikan “Golden Rule” FIFA sebagai berikut:

1. Jangan bermain membahayakan pemain lawan.
2. Hormati aturan main dan jalankan dengan baik semua instruksi official.
3. Hormati lawan seperti selayaknya kolega kita di sepakbola.
4. Tetap mampu memperlihatkan sikap menjunjung tinggi disiplin, walaupun dalam situasi yang sulit       atau tidak mengenakkan.
5. Berikan dukungan terhadap siapapun yang berupaya mengenyahkan tindakan curang dalam         
    pertandingan
6. Tunjukkan perhatian besar terhadap pemain yang cedera dengan segera menghentikan
    pertandingan dalam situasi apapun.
7. Jangan pernah punya niat untuk balas dendam terhadap kesalahan yang dilakukan pemain lain. 
8. sesuai dengan perintah tiupan peluit wasit.
9. Rendah hati saat merayakan kemenangan, serta berjiwa besar dalam menerima kekalahan.
10.Memberikan penghargaan terhadap individu atau lembaga yang secara luar biasa telah
     menjunjung tinggi sikap-sikap fair play.

        Olahraga dengan segala aspek dan dimensinya yaitu mengandung unsur pertandingan dan kompetisi, harus disertai dengan sikap dan perilaku berdasarkan kesadaran moral. Implementasi pertandingan tidak terbatas pada ketentuan yang tersurat, tetapi juga kesanggupan mental menggunakan akal sehat. Kepatutan tindakan itu bersumber dari hati nurani yang disebut dengan istilah fair play. Model kompetisi yang dijiwai fair play telah diimplementasikan pada kompetisi nasional dalam forum Olimpiade Olahraga Sekolah Nasional (O2SN) dan forum internasional, yaitu ASEAN Primary School Sport Olympiade (APSSO). Hasilnya berpengaruh positif dan menggembirakan karena penerapan tersebut berimplikasi pada perilaku peserta kompetisi yang lebih mencerminkan jiwa sportivitas, kejujuran, persahabatan, rasa hormat, dan tanggung jawab dengan segala dimensinya. Istilah fair play terkandung makna bahwa setiap penyelenggaraan olahraga harus dijiwai oleh semangat kejujuran dan tunduk pada tata aturan, baik yang tersurat maupun tersirat. Setiap pertandingan harus menjunjung tinggi sportifitas, menghormati keputusan wasit/juri, serta menghargai lawan, baik saat bertanding maupun di luar arena pertandingan. Kemenangan dalam suatu pertandingan sangat penting, tetapi ada hal yang lebih penting lagi yaitu menampilkan keterampilan terbaik dengan semangat persahabatan. Lawan bertanding sejatinya adalah juga kawan bermain. Pendidikan olahraga adalah wahana yang sangat ampuh bagi persemaian karakter dan kepribadian anak bangsa apabila dikembangkan secara sistematis.


        Olahraga mengandung dimensi nilai dan perilaku sportif yang multi dimensional. Pertama, sikap sportif, kejujuran, menghargai teman dan saling mendukung, membantu dan penuh semangat kompetitif. Kedua, sikap kerja sama, team work, saling percaya, berbagi, saling ketergantungan, dan kecakapan membuat keputusan bertindak. Ketiga, sikap dan watak yang senantiasa optimistis, antusias, partisipasi, gembira, dan humoris. Keempat, pengembangan individu yang kreatif, penuh inisiatif, kepemimpinan, determinasi, kerja keras, kepercayaan diri, kebebasan bertindak, dan kepuasan diri. Keunggulan pendidikan olahraga dalam pembentukan karakter terletak pada konkretisasi nilai-nilai ke dalam perilaku yang merupakan suatu ciri yang tidak mudah dilakukan pada substansi yang lain dalam kurikulum dan pembelajaran yang cenderung teoristik, abstrak, dan verbalistik. Moral karakter berhubungan erat dengan perilaku dan nilai-nilai yang dapat didefinisikan sebagai sikap yang konsisten untuk merespons situasi melalui ciri-ciri seperti kebaikan hati, kejujuran, sportifitas, tanggung jawab, dan penghargaan kepada orang lain tetapi nilai-nilai yang lebih penting dalam konteks pendidikan dan psikologi, yaitu pembentukan karakter dan kepribadian, masih kurang disadari. Peran olahraga kian penting dan strategis dalam konteks pengembangan kualitas sumber daya manusia yang sehat, mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki sifat kompetitif yang tinggi. Fair play adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan kemanusian yang akrab dan hangat dan mesra. Fair play merupakan kesadaran yang selalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh pesaudaraan olahraga. Jadi fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria pada olahraga. Nilai fair play melandasi pembentukan sikap, dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku. Sebagai konsep moral fair play berisi penghargaan terhadap lawan serta harga diri yang berkaitan antara kedua belah pihak memandang lawannya sebagai mitranya. Keseluruhan dan upaya dan perjuangan itu dilaksanakan dengan bertumpu pada standar moral yang di hayati oleh masing-masing belah pihak. Fair play adalah suatu bentuk harga diri yang tercermin dari :

(1) Kejujuran dan rasa keadilan;
(2) Rasa hormat kepada lawan, baik dalam kekalahan maupun dalam kemenangan;
(3) Sikap dan perbuatan ksatria, tanpa pamrih;
(4)Sikap tegas dan berwibawa, apabila terjadi apabila lawan atau penonton tidak berbuat fair play;
(5) Kerendahan hati dalam kemenangan, dan ketenangan pengendalian diri dalam kekalahan.

         Fair play itu menyatu dengan konsep persahabatan dan menghormati yang lain dan selalu bermain dalam semangat sejati. Fair play dimaknakan sebagai bukan hanya unjuk perilaku dan menyatu dengan persoalan yang berkenaan dengan dihindarinya ulah penipuan, main berpura-pura atau, doping, kekerasan (baik fisik maupun ungkapan kata-kata), eksploitasi, memanfaatkan peluang, komersialisasi yang berlebih-lebihan atau melampui batas korupsi. Fairplay dapat digambarkan dengan istilah” semangat olahragawan sejati”, yang mengungkapkan bagaimana seseorang bermain serta bagaimana cara bersikap dan bertindak terhadap orang lain baik pada saat bermain maupun pada saat lainnya yang masih berkaitan dengan situasi pertandingan. Fair play akan terwujud apabila terpenuhi perilaku tersebut di atas, dan sangat dibutuhkan kesungguhan keberanian moral dan keberanian untuk menanggung resiko.

        Dalam kaitan ini dibutuhkan sikap ksatria yang menolak kemenangan dengan segala cara. Nilai dalam fair play merupakan rujukan perilaku, sesuatu yang dianggap “luhur” dan menjadi pedoman hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang keolahragaan, persoalan ini kian relevan untuk dibahas. Kecenderungan sikap dan partisipasi dalam tindakan dari sekelompok warga masyarakat, termasuk organisasi induk olahraga, yang berusaha untuk meningkatkan prestasi, membangkitkan masalah yang semakin kompleks dan mendalam, hal ini dikarenakan nilai-nilai ideal olahraga makin luhur, di geser oleh nilai “baru” sebagai konsekuensi dari perubahan sosial. Kegiatan dalam keolahragaan merupakan cerminan dalam lingkup kecil dari tatanan masyarakat yang lebih luas. Nilai dalam masyarakat telah berubah, dan hal itu juga berdampak nyata ke dalam olahraga. Penerapan fair play atau sportifitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga menjadi persoalan yang menonjol dewasa ini. Tantangannya muncul dalam aneka perilaku atlet, pelatih,ofisial, dan bahkan juga dari kalangan insan pers. Permasalahan yang paling menonjol adalah upaya memperoleh kemenangan yang disertai dengan upaya bukan mengandalkan keunggulan teknik dan taktik dan yang diperagakan adalah gejala kekerasan dalam olahraga dan kecendrungan untuk memaksakan kehendak, seperti mencampuri keputusan wasit. Sebaliknya, wasit itu sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri di tengah-tengah, tanpa memihak, sesuai dengan fungsinya.

         Olahraga dieksploitasi oleh politik, ideologi, dan dagang karena olahraga sangat tenar dan digemari. Bahkan sekarang ini, sejak logika politik berubah menjadi logika ekonomi, pengelolaan olahraga dengan tujuan yang bersifat komerssialisasi sangat menonjol, dan bila kita tidak waspada, ancaman terhadap fair play semakin besar. Olahraga mengalami bahaya untuk kehilangan sifat-sifatnya yang murni, yang semestinya olahraga berisi pertandingan yang bersifat ksatria dan membentuk kepribadian, dapat berubah menjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasai oleh pikiran prestise, popularitas dan uang. Keadaan demikian perlu disosialisasikan sejak dini, sejak seseorang mulai belajar olahraga dengan maksud untuk melindungi olahraga dari bahaya-bahaya yang mengancamnya. Berkenaan dengan hal ini kiranya perlu disebarluaskan di Indonesia, gagasan dan praktik berolahraga yang dijiwai oleh semangat sportifitas dan alangkah baiknya jika selalu dapat diterapkan praktik-praktik yang memperkokoh pengalaman prilaku yang adil dan jujur. Sangat tepat apabila dilembagakan pemberian penghargaan kepada berbagai pihak yang menjadi pelaku olahraga yang menunjukkan perilaku yang terpuji yang meliputi dalam konsep fair play. Tindakan fair play diperlukan pada kompetisi-kompetisi olahraga dimana semua peserta memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pemenang. Tindakan fair play tidak hanya membutuhkan pemahaman dan ketaatan pada peraturan-peraturan formal suatu permainan, tetapi juga pada semangat kerjasama dan peraturan tidak tertulis yang ada untuk membuat sebuah permainan atau pertandingan bersifat adil. Dalam hal inilah peran orangtua, pelatih, dan official untuk mengenalkan secara intensif tindakan fair play sejak dini selama jenjang karir peserta didik. Sportivitas Sportivitas adalah komponen kedua dari moralitas dalam olahraga.

        Shields dan Bredemeier dalam Robert S. Weinberg., Daniel Gould (2007) berpendapat bahwa sportivitas melibatkan intens berjuang untuk berhasil, komitmen terhadap semangat bermain sehingga standar etika akan lebih diutamakan daripada keuntungan strategis ketika konflik. Sebagai contoh pada pertandingan Liga Utama ke Sembilan Iran tanggal 28 Januari 2010 antara klub Moghavemat Sepasi melawan Steel Azin. Tindakan sportif dan fair play yang ditunjukkkan Amin Mutavassel Zadeh, striker klub Moghavemat Sepasi, di saat tinggal menjebloskan bola ke dalam gawang ia malah menendangnya jauh-jauh keluar lapangan, karena kiper Steel Azin tergeletak tak berdaya setelah sebelumnya berbenturan dengan peman Moghavemat Sepasi yang lain. Tindakan tersebut dilakukan agar tim medis bisa memeriksa kiper yang cedera tersebut. Pertandingan tersebut berakhir dengan kemenangan Steel Azin 2-1 atas Moghavemat Sepasi, jika Amin Mutavassel Zadeh menjebloskan bola ke gawang, golnya tetap dinilai sah, dan hasil akhirnya tentu berbeda. Image result for perilaku sportif Berdasarkan contoh di atas dapat ditunjukkan bahwa atlet menentukan sportivitas sebagai kepedulian dan rasa hormat terhadap aturan main, wasit, lawan, dan tidak melakukan upaya yang curang untuk memenangkan sebuah pertandingan. Perilaku sportif dalam olahraga melibatkan sebuah kerja keras menuju sukses yang berkelanjutan yang didukung dengan sifat dan komitmen pada semangat permainan, sehingga etika-etika standar dalam olahraga tersebut dapat lebih dipentingkan daripada kepentingan strategi permainan ketika keduanya berselisih, dengan kata lain seorang atlet akan berlaku sportif meskipun itu bisa menyebabkan kekalahan dalam suatu pertandingan. Juara tenis terbuka Patrick Raffer menunjukkan Perilaku sportif dalam olahraga pada saat dia menerima saat diberitahu bahwa keputusan hakim garis tidak benar, meskipun itu berarti kekalahan baginya. Perilaku sportif olahraga berdasarkan pada pemahaman dasar konsep olahraga para atlet. Seorang psikolog olahraga asal Canada, Robert Vallerand dan rekan-rekannya mengadakan sebuah penelitian yang bertujuan untuk memahami bagaimana para atlet itu sendiri memahami Perilaku sportif olahraga. Secara khusus penelitian tersebut mengadakan survey terhadap 1.056 atlet Perancis dan Canada yang berusia antara 10-18 tahun yang mewakili tujuh cabang olahraga yang berbeda. Penelitian ini meneliti tentang Perilaku sportif olahraga dengan melakukan survei langsung pada para atlet. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi Perilaku sportif dalam olahraga terungkap dalam penelitian ini. Kelima faktor tersebut adalah:


(1) Komitmen penuh pada keikutsertaan (berpartisipasi dan bekerja keras selama latihan dan pertandingan, mempelajari kesalahan dan berusaha untuk memperbaiki);

 (2) Menghormati dan memperhatikan peraturan dan ofisial (bahkan saat offisial tampak kurang kompeten);

 (3) Menghormati dan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan sosial (berjabat tangan setelah pertandingan, mengakui penampilan baik dari lawan, menjadi pihak kalah yang baik);

 (4) Menghormati dan memperhatikan lawan (meminjamkan peralatan pada lawan, setuju untuk tetap bertanding meskipun tim lawan dating terlambat, menolak untuk mengambil keuntungan saat lawan cedera);

 (5) Mencegah perilaku dan sifat-sifat buruk dalam keikutsertaan (menolak sebuah pendekatan untuk menang dengan cara apapun, tidak menunjukkan kemarahan setelah membuat kesalahan, tidak berkompetisi hanya untuk penghargaan dan hadiah perorangan).

         Kesimpulan penelitian tersebut adalah mengisyaratkan bahwa para atlet mengartikan perilaku sportif olahraga sebagai “menghormati dan memperhatikan peraturan-peraturan, kebiasaan sosial, pihak lawan, serta komitmen penuh seseorang pada sebuah olahraga dan ketiadaan pendekatan-pendekatan negatif dalam keikutsertaan olahraga. Dapat disimpulkan bahwa perilaku sportif olahraga bisa diterima secara luas dalam semua cabang olahraga. Perilaku sportif dalam olahraga harus diklasifikasikan secara spesifik, karena hal tersebut berkaitan dengan jenis olahraga, level pertandingan, dan umur peserta. Namun meskipun tidak terdapat pengertian secara umum tentang perilaku sportif olahraga, sangat penting bagi kita untuk mengidentifikasi setiap perilaku sportif olahraga dan berusaha untuk mengembangkan pengertian spesifik dari hal tersebut karena kita bekerja secara profesional dalam olahraga, pendidikan olahraga, dan lingkup kepelatihan.

0 komentar:

Post a Comment